PALEMBANG, Sumaterannewss. Com.
Pemisahan Pemilu lebih menguntungkan tokoh daerah. Alasannya, tokoh daerah sudah dikenal dan memiliki frekuensi waktu lebih luas untuk berinteraksi dengan masyarakat di daerah pemilihannya.
Hal tersebut ditegaskan Ketua Umum Majelis Wilayah Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumsel, Dr H Joncik Muhammad S.Si SH MM MH selaku narasumber diskusi publik di Hotel Swarna Dwipa Palembang, Jumat (12/12)
Selama ini, lanjut Joncik yang juga Bupati Empat Lawang, para caleg DPR RI kebanyakan atau lebih dari 60 persen berdomisili di pusat.
Mereka terpilih antara lain karena strategi tandem atau kerjasama dengan para caleg DPRD dari partainya masing-masing.
Dengan pemilu terpisah, lokal dan nasional, tentu masing-masing caleg DPR harus berjibaku kerja ekstra keras untuk menarik simpati masyarakat daerah, karena waktu pemilihannya terpisah dengan pemilihan caleg DPRD.
''Disini letak keuntungan caleg dari tokoh daerah, mereka sudah mengenal dan dikenal masyarakat, sehingga tidak sulit bersosialisasi untuk mencari dukungan rakyatbdi dapilnya,'' tegasnya.
Joncik menengarai mungkin faktor itulah yang menyebabkan DPR hingga kini belum melakukan revisi UU Pemilu. Bahkan, Komisi II DPR bidang hukum, beranggapan MK telah melampaui kewenangannya terkait putusan pemisahan Pemilu.
Selain Joncik, diskusi publik yang dilaksanakan KAHMI Sumsel bertajuk 'Arah dan Tantangan Kehidupan Berpolitik di Indonesia, Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional' juga menghadirkan narasumber Titi Anggraini (peneliti Perludem) dan Laurel Heydir, pakar hukum tata negara. Dipandu moderator Muhammad Heekal.
Menurut Joncik, keputusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Jika tidak dilaksanakan, berarti terjadi pembangkangan hukum dan berujung pada situasi deadlock demokrasi.
Agar semuanya berjalan elegan, menurut Joncik yang juga Ketua DPW PAN Sumsel, perlu ada putusan MK lagi yang merevisi putusan No. 135 tersebut.
''Sekarang malah muncul wacana bahwa kedepan pemilihan kepala daerah akan dilakukan oleh DPRD. Berarti tidak ada pilkada langsung melalui Pemilu lokal,'' ujar Joncik.
Sebagai seorang kepala daerah sekaligus ketua partai, Joncik Muhammad mengaku siap menhadapi putusan MK No. 135 tersebut. Kiranya pemerintah dan DPR secepatnya merevisi UU Pemilu, agar bisa segera disusun strategi pemenangan yang lebih mumpuni, baik untuk kepala daerah maupun untuk DPRD. ''Jangan terlalu mepet mau Pemilu baru dibuat aturan mainnya,'' pungkas Joncik.
Menurut putusan MK No. 135, Pemilu yang akan dibagi dua, yakni Pemilu Nasional tahun 2029 untuk memilih Presiden-wakil, DPR dan DPD. Dua tahun kemudian dilakukan Pemilu lokal untuk memilih DPRD Prov/Kab/Kota dan memilih kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota beserta wakil).
Bagaimana mekanisme pelaksanaannya tentu akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang yang dibuat pemerintah bersama DPR. Atau merevisi UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sementara menurut Titi, salah satu dasar pemikiran perlunya pemisahan Pemilu adalah faktor teknis. Pengalaman pemilu serentak 2019 mencoblos 5 kertas suara (Pilpres, DPR, DPD, dprd prov dan dprd kab/kota) banyak menimbulkan korban. Ada 800an petugas KPPS meninggal dunia dan lebih 5000 orang lain sakit dan harus dirawat. Atas dasar itu, kata Titi, organisasi masyarakat sipil Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi disingkat Perludem, mengajukan judicial review terhar UU Pemilu No 7 tahun 2017.
Apakah putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan lokal menabrak UUD, terutama masalah masa jabatan atau periodesasi yang hanya 5 tahun, sementara Pemilu lokalnya baru akan dilaksanakan 2 atau 2,5 tahun kedepan atau tahun 2031.
Menurut Titi, hal tersebut harus diselesaikan secara bijak oleh tim transisi. Kepala daerah yang habis masa jabatannya dapat diperpanjang atau ditunjuk penjabat (Pj) sampai terpilih dan dilantik kepala daerah yang baru, dan anggota DPRD tidak ada pilihan lain kecuali harus diperpanjang masa jabatannya, tidak ada Pj anggota DPRD.
Narsum lainnya, Laurel Haedir menegaskan bahwa sejatinya setiap revisi terhadap undang-undang untuk perubahan yang lebih baik.
Sistem Pemilu nasional dan Pemilu lokal belum pernah dilaksanan, baru sebatas putusah MK. ''Perlu kajian lebih lanjut oleh pihak eksekutif dan legislatif sebelum merevisi undang-undang Pemilu yang berlaku sebelumnya,'' ujar mantan dosen Fakultas Hukum Unsri tersebut. aanadi

